Para akuntan atau mahasiswa akuntansi pasti sudah familiar dengan yang namanya Standar Akuntansi. Tujuannya adalah agar tercipta keseragaman dalam penyampaian laporan keuangan dan memberi kemudahan untuk mendapatkan informasi dari laporan yang ada.

Pengguna laporan keuangan, diantaranya investor, pemegang saham, pemerintah, maupun auditor, akan dengan mudah melakukan perbandingan laporan keuangan antar entitas karena telah disusun berdasarkan standar yang sama.

Secara internasional kita mengenal IFRS (International Financial Reporting Standard), yang merupakan standar pelaporan keuangan secara umum yang diacu oleh hampir semua entitas di seluruh dunia. Di Indonesia kita mengenal yang namanya SAK (Standar Akuntansi Keuangan), yang pada dasarnya juga mengacu kepada IFRS.

Sebuah standar akuntansi disusun dan diterbitkan oleh suatu dewan yang dikenal sebagai Standard Setting Body. SAK sebagai standar yang mengatur pelaporan keuangan secara umum di Indonesia, disusun dan diterbitkan oleh sebuah dewan yang dinamakan Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK).

DSAK merupakan bagian dari IAI (ikatan Akuntan Indonesia) yang memang bertugas untuk melakukan penyusunan dan penyempurnaan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia.

Disamping SAK, terdapat juga beberapa standar khusus yang mengatur pelaporan keuangan entitas tertentu (yang tidak dapat dicakup oleh standar yang umum), baik karena keunikan transaksinya, atau belum dapat dipersamakan dengan entitas lainnya.

Sebut saja SAP (Standar Akuntansi Pemerintahan), yang merupakan standar akuntansi untuk pelaporan keuangan pemerintah, lalu ada PSAK Syariah yang mengatur pelaporan keuangan entitas yang berbasis syariah, seperti perbankan syariah, badan zakat, dan sebagainya.

Yang terakhir ada SAK-ETAP yang merupakan singkatan dari Standar Akuntansi Keuangan — Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik. SAK-ETAP diterapkan untuk badan yang tidak memiliki akuntabilitas publik atau akuntabilitas publiknya tidak terlalu signifikan. Pada dasarnya, SAK-ETAP merupakan bentuk sederhana dari SAK-IFRS.

Semua standar diatas sudah dikenal secara umum oleh para praktisi dan akademisi akuntansi. Namun tahukah kamu bahwa ada standar akuntansi yang dikhususkan untuk pelaporan keuangan bank sentral?

Hampir semua negara di dunia memiliki bank sentral atau otoritas moneter, yang secara nature of business berbeda (unik) bila dibandingkan dengan entitas lainnya.

Bank sentral umumnya merupakan lembaga yang non-profit oriented, yang tugas utamanya adalah menjaga kestabilan nilai tukar, baik terhadap barang dan jasa maupun terhadap mata uang asing. Tentu saja dalam rangka pelaksanaan tugasnya itu, bank sentral akan melakukan transaksi keuangan yang tidak dapat ditemui di entitas lain.

Indonesia memiliki bank sentral atau otoritas moneter dikenal dengan nama Bank Indonesia (BI). Sebagai bank sentral, BI memiliki tugas yang berbeda dengan perbankan secara umum, walaupun dinamakan bank.

Berdasarkan UU no.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BI merupakan lembaga independen yang tidak berada di bawah pemerintah, serta memiliki tiga tugas utama, yaitu Membuat dan Melaksanakan Kebijakan Moneter, Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran, serta Mengatur dan Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial.

Sebagai lembaga yang non profit serta berwenang dalam “menciptakan” uang, kinerja BI tidak dapat diukur sepenuhnya dalam satuan mata uang. Bila kinerja entitas lain (khususnya yang profit oriented) dapat dengan mudah dilihat dari jumlah aset maupun laba yang dihasilkan, maka tidak demikian dengan BI.

Selain keunikan secara tugas, BI juga memiliki keunikan dari segi pengguna informasi keuangannya. Bila laporan keuangan suatu entitas bisnis umumnya dibutuhkan oleh pemegang saham, maupun pihak-pihak yang bertransaksi dengannya, informasi dalam laporan keuangan bank sentral diperlukan oleh banyak pihak.

Sebut saja DPR, BPK (sebagai auditor), pemerintah, pelaku ekonomi, bank sentral lain, akademisi, analis, dan praktisi ekonomi, serta lembaga internasional.

Berangkat dari keunikan tersebut, maka dalam rangka meningkatkan governance dalam pelaporan keuangannya, dan berdasarkan rekomendasi dari Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), maka pada 31 Desember 2013 lalu lahirlah sebuah standar akuntansi yang khusus disusun sebagai pedoman bagi BI dalam pelaporan keuangannya. Standar tersebut dinamakan KAKBI (Kebijakan Akuntansi Keuangan Bank Indonesia).

Sama seperti standar akuntansi lainnya, KAKBI juga disusun oleh suatu badan yang independen yang dinamakan Komite Penyusun KAKBI. Komite tersebut beranggotakan para pakar akuntansi yang berasal dari DSAK-IAI, akademisi, praktisi, BSBI, maupun dari internal BI sendiri.

Sebelum lahirnya KAKBI, BI dan banyak bank sentral lain di seluruh dunia mengacu kepada standar akuntansi umum yang dimodifikasi agar sesuai dengan keunikan transaksi bank sentral.

KAKBI sendiri terdiri dari Prinsip Dasar Penyusunan dan Pelaporan Keuangan (PDP2LK) serta 7 (tujuh) Pernyataan Kebijakan Akuntansi Keuangan (PKAK). Ketujuh PKAK tersebut adalah sebagai berikut: PKAK 01 – Kebijakan Akuntansi, PKAK 02 – Penyajian Laporan Keuangan, PKAK 03 – Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Asing, PKAK 04 — Emas, PKAK 05 – Uang Dalam Peredaran, PKAK 06 – Instrumen Keuangan Kebijakan, dan PKAK 07 – Transaksi Tidak Unik.

Sebuah standar akuntansi akan terus mengalami penyesuaian mengikuti perkembangan transaksi yang dilakukan oleh entitas, karena itu pula lah maka KAKBI juga akan terus mengalami penyempurnaan seperti halnya IFRS atau SAK.

One Reply to “Standar Akuntansi Bank Sentral”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *